Selasa, 12 Maret 2013

HADIAH UNTUK GURU



“Hiduplah tanahku Hiduplah Negriku, Bangsaku Rakyatku Semuanya, Bangunlah jiwanya Bangunlah raganya………” Kompak suara anak kelas V menyanyikan lagu kebangsaan INDONESIA RAYA yang dipimpin oleh Bapak Bulan wali kelas kami sekaligus menjabat sebagai kepala sekolah disekolah kami.
Sekolah kami sangat sederhana, sesederhana kami murid-muridnya dan tiga guru yang setia mendampingi kami dari kelas satu hingga sekarang. salah satunya adalah Pak Bulan yang saat ini memimpin menyanyikan lagu Indonesia raya didepan kelas V, kelasku tercinta.
“Untuk Indonesia Raya.. Indonesia raya mer…..” Anak kelas V yang sejak tadi sangat menikmati menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia itu tiba-tiba terdiam. Ada yang memperlihatkan ekspresi panik, kaget, teriak, ada yang tersentak lari ke arah Pak Bulan, dan itu Aku.
Sejenak suara benturan yang sangat keras terdengar tidak lama setelah suara batuk yang bercampur dengan suara nyanyian yang kacau. Serentak anak kelas V menampakkan ekspresi yang berbeda dan menghampiri Pak Bulan yang tergeletak didepan kami. Suara Awan teman sebangku sekaligus teman baikku begitu menggelegar hingga Ibu Matahari bergegas berlari kekelas kami sambil mengucapkan kata-kata yang biasanya Ibu Matahari Ucapkan saat kami bandel dan ribut dikelas.
“Awas kalian, suara kalian tambah hari tambah buat telinga saya ingin pecah”. Sambil memegang sapu pada tangan kanannya.
Ibu Matahari adalah guru tergalak di antara tiga guru lainnya, walaupun galak, Ibu Matahari paling Is The Best deh.. Apapun yang Ibu Matahari ajarkan ke kami pasti Ilmunya nyerap dan tahan lama. Kayak Parfum gitu deh.. tapi di antara bermacam-macam wangi parfum, aroma yang paling tahan lama itu katanya aramo yang wanginya tidak menyengat, katanya sih, soalnya Bintang tidak pernah pakai parfum, hhehe.. Eh,,kok bahas parfum sih, kita kembali ke ceritanya lagi yuk…
Melihat Pak Bulan tergeletak, Ibu Matahari dengan cepat menghampiri Pak bulan dan menyuruh beberapa anak kelas V memanggil warga untuk membawa Pak bulan ke Puskesmas. Serentak Angin dan beberapa teman-teman yang lain berlari keluar sekolah sambil meneriakkan “Tolong Tolong”.

Menunggu kabar pak Bulan seperti menunggu Ibu hamil yang ingin melahirkan saja, hati ini begitu cemas menunggu kabar dari Dokter tentang keadaan pak bulan, tapi saat aku berbalik 180o rasa cemas itu sejenak hilang dan terganti dengan tawa geli melihat teman-teman kelas yang duduk berbaris yang di pimpin oleh ibu Matahari seakan ingin menunggu bantuan Raskin dari pemerintah. Hahah..
“Bagaimana keadaan Pak bulan?” suara pak cahaya terdengar begitu panik. Pak cahaya adalah guru kesehatan kami, atau lebih jelasnya guru penjaskes yang mengajarkan kita tentang kesehatan, olahraga sekaligus staf yang mengurus berkas-berkas disekolahku.
“Pak Bulan baik-baik saja”. Ucap bapak Dokter Enteng
“Saya bisa masuk Dok?”
“Silahkan Pak”. Melihat murid-murid serentak berdiri Pak dokter melanjutkan kalimatnya.
“Tapi satu atau dua orang saja dulu, karena Pak Bulan Perlu Istirahat” Ucap Pak Dokter sambil melihat anak-anak yang sangat bahagia mendengar kabar Pak Bulan, kembali memperlihatkan wajah memalas karena tidak bisa masuk ke ruangan melihat keadaan Pak Bulan.
Ibu Matahari Dan Pak Cahaya lalu melangkahkan kaki masuk ke  ruangan tempat Pak Bulan di rawat. Dan kamipun hanya menunggu Ibu Matahari dan Pak Bulan membawa Kabar jelas tentang keadaan Pak Bulan dan kembali ke rumah masing-masing.

SEMINGGU KEMUDIAN
Sudah Dua hari Pak Bulan kembali mengajar di kelas kami, dan kamipun sangat senang melihat Pak Bulan yang begitu sehat dengan senyum terbaiknya.
“Bintang!!! Mengantuk nak?” Sapa Pak Bulan kepadaku yang membuatku tersentak kaget dan terbangun dari tidur pendekku.
“Iya pak, semalam kurang tidur karena non….. Kerja tugas pak”. Huft, Hampir keceplosan kalau semalam tidurku di cicil dulu karena mau nonton Barcelona VS Real Madrid, hehe..
“Ya sudah.. agar mengantuknya hilang, pulang sekolah nanti Bintang bisa membersihkan seluruh kelas ini” Ucap Pak Bulan lembut.
“i..iya.. Pak” jawabku terbata-bata. Huft.. begitu deh cara Pak Bulan menegur kami. Lembut tapi sama saja dengan guru lain, DIHUKUM!!!!
“Oke anak-anak, minggu depan hafal surah Al-humazah ya, terutama bintang yang kemarin belum membayar hafalan surah Al-Waqiahnya. ”
“Iya Pak”
“Terimakasih untuk semangat hari ini anak-anak, hati-hati dijalan dan jangan lupa belajar di rumah ya”
“Iya Pak”
“Berdiri” Teriak Angin yang merupakan ketua kelas di kelas V menyuruh semua murid berdiri. Semua muridpun serentak mengikuti aba-aba dari Angin.
“Beri Salam”. Aba-Aba lanjutan dari Angin.
“Assalamualaikum warahmatullahiwabarakatu, Terimakasih Pak Guru”. Kompak anak kelas V yang diikuti dengan tundukan kepala.
“Waalaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatu” Terimakasih juga Anak-Anak. Balas Pak Bulan dan langsung meninggalkan kelas V.
Anak kelas V dengan bahagia meninggalkan kelas terkecuali Aku. Dengan wajah memalas Aku mengambil sapuh di sudut ruangan kelas lalu memulai menyapu lantai dari sisi ke sisi dengan keluh kesah yang tak hentinya berucap dari mulutku, Saking kesalnya Aku tidak mendengar suara yang dari tadi memanggil namaku.
“Bintang..Bintang” suara yang sangat lembut itu tidak dapat menyadarkanku dari rasa kesal ini.
“hey BINTANG!!!!!!” Buset!!! Suara pak Bulan bisa keras juga ya, teriakannya saingan dengan teriakan Awan. Heheh
“iya pak” sentak badanku berbalik 180o menghadap pak bulan.
“Bintang, Bapak bisa minta tolong tidak?” Tanya Pak Bulan kepadaku dengan Lembut.
“Iya Bisa Pak, Ada apa?”.
“Tolong kamu ke toko kain, belikan bapak Kain Mori ya?” sambil menyodorkan uang seribuan dan resehan kepadaku.
“Siap pak”. Aku lalu mengambil sepeda yang terparkir dihalaman sekolah yang dari tadi menungguku sendiri hingga tugasku membersihkan kelas selesai. “Sepeda yang setia”, Ucapku dalam hati sambil tersenyum memandang sepeda kesayanganku itu.

Waktu sudah menunjukkan pukul 16.20. aku telah berkeliling mencari kain Mori tapi tak satupun toko yang kudatangi menjual kain mori. Ada rasa kesal dalam dada karena tidak berhasil mendapatkan apa yang ku inginkan. Tapi apa boleh buat, yang jelas aku sudah mencari dengan maksimal.
Sesampainya aku didepan pintu ruangan kepala sekolah, terdengar suara Pak Bulan dan Pak Cahaya yang sedang berbincang. Tidak ada niat untuk mendengarkan perbincangan kedua guruku itu, tapi rasa penasaran menjamur dalam  diriku.
“Kemarin Aku sudah mencari kain mori, tapi hasilnya nihil. Mudah-mudahan Bintang lebih beruntung dari aku dan bisa mendapatkan kain Mori”. Prakkkkk!!!!!!!!! Hatiku seakan teriris-iris. Pak Bulan yang sangat berharap banyak padaku ternyata tidak mendapatkan kain Mori itu juga.
“Pak, kumohon jangan berfikir hal-hal aneh itu. Kami masih membutuhkan bapak, kami masih menginginkan bapak ada bersama kami”. Terdengar suara pak Cahaya lirih. Maksud Pak Cahaya apa? Pak bulan ingin ke mana? Apa Pak Bulan ingin menjadi kepala sekolah di sekolah lain? Tidak!! Jangan sampai!! Apalagi setelah Pak Bulan tau aku tidak mendapatkan kain Mori itu, pasti pak Bulan sanagat kecewa dan akan benar-benar meninggalkan kami.
Aku tersentak sadar dalam lamunanku mendengar suara Pak Bulan begitu dekat denganku.
“Bintang, apakah kamu mendapatkan kain mori?”. Tanya pak bulan kepadaku yang masih berdiri di balik pintu ruang kepala sekolah.
“ma..maa..maaf pak, mu..mungkin bapak kee..kecewa.. ta..”. Ucapku batah sambil menundukkan kepala. Tiba-tiba pak Bulan melanjutkan kalimatku.
“Tapi apa? Tidak dapat? Tidak apa-apalah”.
“pulang sana, sudah soreh” Ucap pak Bulan menyuruhku pulang. Dan aku menuruti perkataan Pak Bulan sambil mengucapkan kata Maaf. Tapi rasa bersalah itu hilang setelah melihat senyum tulus dari wajah Pak Bulan dan Belaian Tangannya yang mengelus kepalaku.

“Aku harus mendapatkan kain mori untuk pak Bulan”. Ucapku saat berada di pasar kota.
Hari ini adalah hari minggu, hari minggu yang berarti hari libur. Dan aku memberanikan diri kekota bersama Angin dan Awan teman baikku untuk mencari kain mori. Walaupun pak Bulan tidak menyuruhku lagi untuk membeli kain mori itu, tapi rasa bersalah tidak menjalankan tanggung jawab dari pak mori terus menggeluti otakku.
“Bu, ada kain mori bu?” . tanyaku pada ibu penjual kain di pasar kota.
“Adek, kalau mau cari kain mori jangan disini. Tapi disana”. Ibu penjual kain itu menunjuk kesalah satu jejeran ruko yang berada di antara ruko alat bangunan dan ruko makanan ayam. “apa? Beli kain mori di toko itu?”. Tanya ku dalam hati. Saking tidak percayanya, Awan kembali bertanya ke ibu penjual kain itu.
“Di toko penjual perlengkapan Mayat bu?”. Tanya Awan dengan nada tidak percaya.
“iya dek, kesana saja kalau kalian tidak percaya”.
“kita kesana saja dulu”. sapa Angin kepadaku dan Awan.
Kami lalu menuju toko penjual perlengkapan mayat tersebut dan langsung bertanya kepada sang penjaga toko apakah toko itu benar menjual kain mori atau tidak. Kami serentak berpandangan dan memasang wajah kaget bahwa benar toko tersebut menjual kain mori seperti yang dikatakn ibu penjual kain tadi.

Dalam perjalan pulang kedesa, setelah kami bertiga mendapatkan kain mori untuk pak Bulan, hanya diam yang menghiasi perjalanan kami. Untuk apa pak Bulan sangat meninginkan kain mori ini?. Suara Angin terdengar membangunkanku dan Awan dalam lamunan.
“untuk apa pak Bulan minta di belikan kain ini bintang?”
“Aku juga kurang tau, toh.. akupun kaget saat tau kalau kain mori itu adalah ini”. Jawabku sambil menyodorkan kain mori itu kepada Angin.
“jangan jangan”. Awan menunjukkan ekspresi menakutkan.
“jangan berfikir negative dulu wan, siapa tau pak Bulan ingin menjadikan kain ini taplak meja, surban, atau alat peraga untuk praktek kita nanti”. Jawab Angin yang kembali menyodorkan kain mori itu kepadaku
Aku dan awan serentak menganggukkan kepala dan kembali bercanda dalam perjalanan pulang seperti saat berangkat tadi. Tapi kenapa hatiku begitu tidak nyaman? rasanya sangat gelisah, tapi mudah-mudahan ini bertanda baik. Aamiin ya rabb.

Tidak.. Tidak mungkin.. apa yang ku lihat pasti tidak nyata.. pasti hanya mimpi…
“Angin, Awan cubit aku”. Suruhku kepada temanku yang ternyata dari tadi ikut berdiri mematung.
“kita tidak salah lihat kan Bintang? Awan?”. Tanya Angin juga.
“Pak Bulaaaaaaaaaaaaaaaaannnnnnnnnn”. Angin berteriak sambil berlari meninggalkanku dan Awan, begitupun Awan yang ikut menyusul Angin berlari menuju rumah yang sudah dikerumuni banyak warga dan bendera putih yang mengibar-ngibar seperti memanggilku untuk ikut masuk ke rumah itu. Tapi kaki ini sangat berat untuk melangkah, dada ini terasa sangat sesak, tubuh ini bergetar, dan air matapun menetes tanpa membuatku mengeluarkan suara tangis kehilangan.
“Pak Bulan, inikah maksud dari kain mori itu?”. Perlahan lututku terasa lemas untuk menahan badan kecilku.
“Pak Bulan kenapa secepat ini pak? Kenapa Bapak tidak memberikanku kesempatan untuk memperlihatkan kepada bapak kalau aku bisa melaksanakan tanggung jawabku? Kenapa pak? Kenapa???????????”. Hati ini begitu sakit, sakit karena kehilangan guru sebelum aku membalas jasanya. Dengan sekuat tenaga aku mencoba mengangkat badan kecilku yang begitu lemas dan berlari ke rumah yang dari tadi seperti memanggilku untuk ikut masuk.
“Pak, bangun pak, Bintang beli kain mori pesanan bapak, bangun pak??”. Sakit.. sakit sekali tuhan.. kenapa dada ini begitu sesak?. Tanyaku dalam hati, kehilangan pak Bulan seperti saat aku kehilangan sosok Ayah, bahkan lebih kehilangan. Mungkin saat aku kehilangan Ayah umurku masih 7 tahun, dan selama itu pak Bulan yang selalu membimbingku.
“Pak, tau tidak? Bintang, Awan dan Angin jauh-jauh ke kota pak hanya untuk beli kain mori ini untuk bapak, kain mori yang bapak sangat inginkan, tapi kenapa bapak tidak menghargai pengorbanan kami? Bapak pergi sebelum melihat kain mori dari kami?”. Orang-orang dalam ruangan itu serentak menarikku keluar dari ruangan melihatku memberontak dalam ruangan duka itu, tapi dadaku tetap saja sesak, hatiku begitu terpukul.
BAPAK BULAN!!!!!!!!!!!!!!!!! GURUKU!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

Walaupun aku mendapatkan kain mori itu setelah Pak Bulan di panggil ke sisi Tuhan. Aku ikhlas.. walaupun jasad pak Bulan tidak bersama kami lagi, tapi ajaran pak Bulan tetap melekat dihati kami semua. Dan Aku janji pak akan menghafal surah Al-Waqiah dan akan selalu mengirimkan doa-doa untuk bapak agar bapak tenang disisi Allah bersama hadiah dari kami. Pak Bulan, Guruku, Ayahku adalah sosok yang harus selalu terlihat kuat, bahkan penyakit kanker otakpun tidak bisa membuat guruku itu terlihat lemah dan menangis. Pak Pak Bulan adalah orang pertama yang selalu yakin bahwa “AKU BISA” dalam segala hal walaupun dia tau kalau aku anak pemalas. Dan kain Mori atau kain kafan seperti bapak inginkan adalah pakaian terakhir bapak dari kami untuk bertemu dengan sang khalik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar