“Hiduplah tanahku Hiduplah Negriku, Bangsaku Rakyatku Semuanya, Bangunlah jiwanya Bangunlah raganya………” Kompak suara anak kelas V menyanyikan lagu kebangsaan INDONESIA RAYA yang dipimpin oleh Bapak Bulan wali kelas kami sekaligus menjabat sebagai kepala sekolah disekolah kami.
Sekolah
kami sangat sederhana, sesederhana kami murid-muridnya dan tiga guru yang setia
mendampingi kami dari kelas satu hingga sekarang. salah satunya adalah Pak
Bulan yang saat ini memimpin menyanyikan lagu Indonesia raya didepan kelas V,
kelasku tercinta.
“Untuk
Indonesia Raya.. Indonesia raya mer…..” Anak kelas V yang sejak tadi sangat
menikmati menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia itu tiba-tiba terdiam. Ada yang
memperlihatkan ekspresi panik, kaget, teriak, ada yang tersentak lari ke arah
Pak Bulan, dan itu Aku.
Sejenak
suara benturan yang sangat keras terdengar tidak lama setelah suara batuk yang bercampur
dengan suara nyanyian yang kacau. Serentak anak kelas V menampakkan ekspresi yang
berbeda dan menghampiri Pak Bulan yang tergeletak didepan kami. Suara Awan
teman sebangku sekaligus teman baikku begitu menggelegar hingga Ibu Matahari
bergegas berlari kekelas kami sambil mengucapkan kata-kata yang biasanya Ibu
Matahari Ucapkan saat kami bandel dan ribut dikelas.
“Awas
kalian, suara kalian tambah hari tambah buat telinga saya ingin pecah”. Sambil
memegang sapu pada tangan kanannya.
Ibu
Matahari adalah guru tergalak di antara tiga guru lainnya, walaupun galak, Ibu
Matahari paling Is The Best deh.. Apapun yang Ibu Matahari ajarkan ke kami
pasti Ilmunya nyerap dan tahan lama. Kayak Parfum gitu deh.. tapi di antara
bermacam-macam wangi parfum, aroma yang paling tahan lama itu katanya aramo
yang wanginya tidak menyengat, katanya sih, soalnya Bintang tidak pernah pakai
parfum, hhehe.. Eh,,kok bahas parfum sih, kita kembali ke ceritanya lagi yuk…
Melihat Pak Bulan tergeletak, Ibu Matahari
dengan cepat menghampiri Pak bulan dan menyuruh beberapa anak kelas V memanggil
warga untuk membawa Pak bulan ke Puskesmas. Serentak Angin dan beberapa
teman-teman yang lain berlari keluar sekolah sambil meneriakkan “Tolong
Tolong”.
Menunggu
kabar pak Bulan seperti menunggu Ibu hamil yang ingin melahirkan saja, hati ini
begitu cemas menunggu kabar dari Dokter tentang keadaan pak bulan, tapi saat
aku berbalik 180o rasa cemas itu sejenak hilang dan terganti dengan
tawa geli melihat teman-teman kelas yang duduk berbaris yang di pimpin oleh ibu
Matahari seakan ingin menunggu bantuan Raskin dari pemerintah. Hahah..
“Bagaimana
keadaan Pak bulan?” suara pak cahaya terdengar begitu panik. Pak cahaya adalah
guru kesehatan kami, atau lebih jelasnya guru penjaskes yang mengajarkan kita
tentang kesehatan, olahraga sekaligus staf yang mengurus berkas-berkas
disekolahku.
“Pak
Bulan baik-baik saja”. Ucap bapak Dokter Enteng
“Saya
bisa masuk Dok?”
“Silahkan
Pak”. Melihat murid-murid serentak berdiri Pak dokter melanjutkan kalimatnya.
“Tapi
satu atau dua orang saja dulu, karena Pak Bulan Perlu Istirahat” Ucap Pak
Dokter sambil melihat anak-anak yang sangat bahagia mendengar kabar Pak Bulan,
kembali memperlihatkan wajah memalas karena tidak bisa masuk ke ruangan melihat
keadaan Pak Bulan.
Ibu Matahari Dan Pak Cahaya lalu
melangkahkan kaki masuk ke ruangan
tempat Pak Bulan di rawat. Dan kamipun hanya menunggu Ibu Matahari dan Pak
Bulan membawa Kabar jelas tentang keadaan Pak Bulan dan kembali ke rumah
masing-masing.
SEMINGGU
KEMUDIAN
Sudah
Dua hari Pak Bulan kembali mengajar di kelas kami, dan kamipun sangat senang
melihat Pak Bulan yang begitu sehat dengan senyum terbaiknya.
“Bintang!!!
Mengantuk nak?” Sapa Pak Bulan kepadaku yang membuatku tersentak kaget dan
terbangun dari tidur pendekku.
“Iya
pak, semalam kurang tidur karena non….. Kerja tugas pak”. Huft, Hampir
keceplosan kalau semalam tidurku di cicil dulu karena mau nonton Barcelona VS
Real Madrid, hehe..
“Ya
sudah.. agar mengantuknya hilang, pulang sekolah nanti Bintang bisa
membersihkan seluruh kelas ini” Ucap Pak Bulan lembut.
“i..iya..
Pak” jawabku terbata-bata. Huft.. begitu deh cara Pak Bulan menegur kami.
Lembut tapi sama saja dengan guru lain, DIHUKUM!!!!
“Oke
anak-anak, minggu depan hafal surah Al-humazah ya, terutama bintang yang
kemarin belum membayar hafalan surah Al-Waqiahnya. ”
“Iya
Pak”
“Terimakasih
untuk semangat hari ini anak-anak, hati-hati dijalan dan jangan lupa belajar di
rumah ya”
“Iya
Pak”
“Berdiri”
Teriak Angin yang merupakan ketua kelas di kelas V menyuruh semua murid
berdiri. Semua muridpun serentak mengikuti aba-aba dari Angin.
“Beri
Salam”. Aba-Aba lanjutan dari Angin.
“Assalamualaikum
warahmatullahiwabarakatu, Terimakasih Pak Guru”. Kompak anak kelas V yang
diikuti dengan tundukan kepala.
“Waalaikumsalam
Warahmatullahi Wabarakatu” Terimakasih juga Anak-Anak. Balas Pak Bulan dan
langsung meninggalkan kelas V.
Anak
kelas V dengan bahagia meninggalkan kelas terkecuali Aku. Dengan wajah memalas
Aku mengambil sapuh di sudut ruangan kelas lalu memulai menyapu lantai dari
sisi ke sisi dengan keluh kesah yang tak hentinya berucap dari mulutku, Saking
kesalnya Aku tidak mendengar suara yang dari tadi memanggil namaku.
“Bintang..Bintang”
suara yang sangat lembut itu tidak dapat menyadarkanku dari rasa kesal ini.
“hey
BINTANG!!!!!!” Buset!!! Suara pak Bulan bisa keras juga ya, teriakannya saingan
dengan teriakan Awan. Heheh
“iya
pak” sentak badanku berbalik 180o menghadap pak bulan.
“Bintang,
Bapak bisa minta tolong tidak?” Tanya Pak Bulan kepadaku dengan Lembut.
“Iya
Bisa Pak, Ada apa?”.
“Tolong
kamu ke toko kain, belikan bapak Kain Mori ya?” sambil menyodorkan uang
seribuan dan resehan kepadaku.
“Siap pak”. Aku lalu mengambil sepeda yang
terparkir dihalaman sekolah yang dari tadi menungguku sendiri hingga tugasku
membersihkan kelas selesai. “Sepeda yang setia”, Ucapku dalam hati sambil
tersenyum memandang sepeda kesayanganku itu.
Waktu
sudah menunjukkan pukul 16.20. aku telah berkeliling mencari kain Mori tapi tak
satupun toko yang kudatangi menjual kain mori. Ada rasa kesal dalam dada karena
tidak berhasil mendapatkan apa yang ku inginkan. Tapi apa boleh buat, yang
jelas aku sudah mencari dengan maksimal.
Sesampainya
aku didepan pintu ruangan kepala sekolah, terdengar suara Pak Bulan dan Pak
Cahaya yang sedang berbincang. Tidak ada niat untuk mendengarkan perbincangan kedua
guruku itu, tapi rasa penasaran menjamur dalam
diriku.
“Kemarin
Aku sudah mencari kain mori, tapi hasilnya nihil. Mudah-mudahan Bintang lebih
beruntung dari aku dan bisa mendapatkan kain Mori”. Prakkkkk!!!!!!!!! Hatiku
seakan teriris-iris. Pak Bulan yang sangat berharap banyak padaku ternyata
tidak mendapatkan kain Mori itu juga.
“Pak,
kumohon jangan berfikir hal-hal aneh itu. Kami masih membutuhkan bapak, kami
masih menginginkan bapak ada bersama kami”. Terdengar suara pak Cahaya lirih.
Maksud Pak Cahaya apa? Pak bulan ingin ke mana? Apa Pak Bulan ingin menjadi
kepala sekolah di sekolah lain? Tidak!! Jangan sampai!! Apalagi setelah Pak
Bulan tau aku tidak mendapatkan kain Mori itu, pasti pak Bulan sanagat kecewa
dan akan benar-benar meninggalkan kami.
Aku
tersentak sadar dalam lamunanku mendengar suara Pak Bulan begitu dekat
denganku.
“Bintang,
apakah kamu mendapatkan kain mori?”. Tanya pak bulan kepadaku yang masih
berdiri di balik pintu ruang kepala sekolah.
“ma..maa..maaf
pak, mu..mungkin bapak kee..kecewa.. ta..”. Ucapku batah sambil menundukkan
kepala. Tiba-tiba pak Bulan melanjutkan kalimatku.
“Tapi
apa? Tidak dapat? Tidak apa-apalah”.
“pulang sana, sudah soreh” Ucap pak Bulan
menyuruhku pulang. Dan aku menuruti perkataan Pak Bulan sambil mengucapkan kata
Maaf. Tapi rasa bersalah itu hilang setelah melihat senyum tulus dari wajah Pak
Bulan dan Belaian Tangannya yang mengelus kepalaku.
“Aku
harus mendapatkan kain mori untuk pak Bulan”. Ucapku saat berada di pasar kota.
Hari
ini adalah hari minggu, hari minggu yang berarti hari libur. Dan aku memberanikan
diri kekota bersama Angin dan Awan teman baikku untuk mencari kain mori.
Walaupun pak Bulan tidak menyuruhku lagi untuk membeli kain mori itu, tapi rasa
bersalah tidak menjalankan tanggung jawab dari pak mori terus menggeluti otakku.
“Bu,
ada kain mori bu?” . tanyaku pada ibu penjual kain di pasar kota.
“Adek,
kalau mau cari kain mori jangan disini. Tapi disana”. Ibu penjual kain itu
menunjuk kesalah satu jejeran ruko yang berada di antara ruko alat bangunan dan
ruko makanan ayam. “apa? Beli kain mori di toko itu?”. Tanya ku dalam hati.
Saking tidak percayanya, Awan kembali bertanya ke ibu penjual kain itu.
“Di
toko penjual perlengkapan Mayat bu?”. Tanya Awan dengan nada tidak percaya.
“iya
dek, kesana saja kalau kalian tidak percaya”.
“kita
kesana saja dulu”. sapa Angin kepadaku dan Awan.
Kami lalu menuju toko penjual perlengkapan
mayat tersebut dan langsung bertanya kepada sang penjaga toko apakah toko itu benar
menjual kain mori atau tidak. Kami serentak berpandangan dan memasang wajah
kaget bahwa benar toko tersebut menjual kain mori seperti yang dikatakn ibu
penjual kain tadi.
Dalam
perjalan pulang kedesa, setelah kami bertiga mendapatkan kain mori untuk pak
Bulan, hanya diam yang menghiasi perjalanan kami. Untuk apa pak Bulan sangat
meninginkan kain mori ini?. Suara Angin terdengar membangunkanku dan Awan dalam
lamunan.
“untuk
apa pak Bulan minta di belikan kain ini bintang?”
“Aku
juga kurang tau, toh.. akupun kaget saat tau kalau kain mori itu adalah ini”.
Jawabku sambil menyodorkan kain mori itu kepada Angin.
“jangan
jangan”. Awan menunjukkan ekspresi menakutkan.
“jangan
berfikir negative dulu wan, siapa tau pak Bulan ingin menjadikan kain ini
taplak meja, surban, atau alat peraga untuk praktek kita nanti”. Jawab Angin
yang kembali menyodorkan kain mori itu kepadaku
Aku dan awan serentak menganggukkan kepala
dan kembali bercanda dalam perjalanan pulang seperti saat berangkat tadi. Tapi
kenapa hatiku begitu tidak nyaman? rasanya sangat gelisah, tapi mudah-mudahan
ini bertanda baik. Aamiin ya rabb.
Tidak..
Tidak mungkin.. apa yang ku lihat pasti tidak nyata.. pasti hanya mimpi…
“Angin,
Awan cubit aku”. Suruhku kepada temanku yang ternyata dari tadi ikut berdiri
mematung.
“kita
tidak salah lihat kan Bintang? Awan?”. Tanya Angin juga.
“Pak
Bulaaaaaaaaaaaaaaaaannnnnnnnnn”. Angin berteriak sambil berlari meninggalkanku
dan Awan, begitupun Awan yang ikut menyusul Angin berlari menuju rumah yang
sudah dikerumuni banyak warga dan bendera putih yang mengibar-ngibar seperti
memanggilku untuk ikut masuk ke rumah itu. Tapi kaki ini sangat berat untuk
melangkah, dada ini terasa sangat sesak, tubuh ini bergetar, dan air matapun
menetes tanpa membuatku mengeluarkan suara tangis kehilangan.
“Pak
Bulan, inikah maksud dari kain mori itu?”. Perlahan lututku terasa lemas untuk
menahan badan kecilku.
“Pak
Bulan kenapa secepat ini pak? Kenapa Bapak tidak memberikanku kesempatan untuk
memperlihatkan kepada bapak kalau aku bisa melaksanakan tanggung jawabku?
Kenapa pak? Kenapa???????????”. Hati ini begitu sakit, sakit karena kehilangan
guru sebelum aku membalas jasanya. Dengan sekuat tenaga aku mencoba mengangkat
badan kecilku yang begitu lemas dan berlari ke rumah yang dari tadi seperti
memanggilku untuk ikut masuk.
“Pak,
bangun pak, Bintang beli kain mori pesanan bapak, bangun pak??”. Sakit.. sakit
sekali tuhan.. kenapa dada ini begitu sesak?. Tanyaku dalam hati, kehilangan
pak Bulan seperti saat aku kehilangan sosok Ayah, bahkan lebih kehilangan.
Mungkin saat aku kehilangan Ayah umurku masih 7 tahun, dan selama itu pak Bulan
yang selalu membimbingku.
“Pak,
tau tidak? Bintang, Awan dan Angin jauh-jauh ke kota pak hanya untuk beli kain
mori ini untuk bapak, kain mori yang bapak sangat inginkan, tapi kenapa bapak
tidak menghargai pengorbanan kami? Bapak pergi sebelum melihat kain mori dari
kami?”. Orang-orang dalam ruangan itu serentak menarikku keluar dari ruangan
melihatku memberontak dalam ruangan duka itu, tapi dadaku tetap saja sesak,
hatiku begitu terpukul.
BAPAK BULAN!!!!!!!!!!!!!!!!!
GURUKU!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!
Walaupun
aku mendapatkan kain mori itu setelah Pak Bulan di panggil ke sisi Tuhan. Aku
ikhlas.. walaupun jasad pak Bulan tidak bersama kami lagi, tapi ajaran pak
Bulan tetap melekat dihati kami semua. Dan Aku janji pak akan menghafal surah
Al-Waqiah dan akan selalu mengirimkan doa-doa untuk bapak agar bapak tenang
disisi Allah bersama hadiah dari kami. Pak Bulan, Guruku, Ayahku adalah sosok
yang harus selalu terlihat kuat, bahkan penyakit kanker otakpun tidak bisa
membuat guruku itu terlihat lemah dan menangis. Pak Pak Bulan adalah orang
pertama yang selalu yakin bahwa “AKU BISA” dalam segala hal walaupun dia tau
kalau aku anak pemalas. Dan kain Mori atau kain kafan seperti bapak inginkan adalah
pakaian terakhir bapak dari kami untuk bertemu dengan sang khalik.