Senin, 21 Mei 2012

Negeri Yang Ramah?

Sekitar tahun 2006, aku pernah berkenalan dengan seorang bule di di Bandung, namanya Pieter Smith. Pieter telah lama berada di Indonesia, bahkan dia ingin menjadi WNI, namun karena prosedur yang agak rumit hingga saat itu Pieter belum bisa mewujudkannya. Aku sedikit heran, mengapa dia ingin menjadi seorang WNI, sedangkan aku, pada saat itu malu untuk mengakui bahwa aku orang Indonesia. Apalagi ketika aku menoleh pada prestasi Indonesia yang sangat tidak dapat dibanggakan.

Pieter menjelaskan, bahwa dia jatuh cinta pada Indonesia sejak pertama kali dia tiba di negeri ini, tepatnya di Bali. Pieter melihat dan merasakan keramahan masyarakat Indonesia. Kemanapun dia melangkah dan kemudian tersesat, selalu ada masyarakat asli yang menolongnya. Pieter bahkan merasa Indonesia seperti tanah kelahirannya sendiri.
Keramahan masyarakat Indonesia, tidak hanya dirasakan oleh Pieter, tapi oleh jutaan bahkan mungkin milyaran wisatawan yang pernah berkunjung ke Indonesia. Keramahan ini pula yang tersebar dari mulut ke mulut, sehingga orang yang awalnya tidak tahu tentang Indonesia, menjadi tertarik dan ingin berkunjung ke Indonesia.
Tapi itu dulu, negeri yang ramah ini secara perlahan berganti jadi negeri yang marah. Seolah-olah setiap masalah yang muncul hanya dapat diselesaikan dengan huru-hara, anarkis, rusuh, tawuran, membakar apa saja yang ada di depan mata dan sederet tindakan “marah” lainnya.

Masalah sepele, bahkan tak jarang hanya masalah remaja (rebutan pacar atau berebut daerah kekuasaan) bisa merembet menjadi masalah orang tua, kemudian menjadi masalah antar desa atau antar etnis. Belum lagi ditambah adanya provokator dan bumbu-bumbu media masa yang terkadang overdosis. masalah pribadi pun bisa menjadi masalah nasional yang dibicarakan dari Sabang sampai Merauke.

Dahulu kala, bila ada masalah diselesaikan dengan kepala dingin, para pihak duduk bersebelahan, mengutarakan isi hatinya, bermusyawarah, ditengahi tokoh setempat. Namun sekarang, bila ada masalah, diselesaikan dengan perut lapar sehingga otak kekurangan nutrisi dan menjadi malas berfikir, kemudian senjata yang berbicara.

Situasi akan menjadi tambah panas, ketika orang-orang yang ada dalam satu golongan, hanya sekedar membela tanpa melihat duduk permasalahnnya. Misalnya A dari kelompok Satu bermasalah dengan B dari kelompok Dua, orang-orang kelompok Satu akan menyerang B dan kelompok Dua, tanpa mau peduli si A itu yang benar atau salah. Alasan mereka ini demi “solidaritas” sesama kelompok. Konyol dan sangat salah kaprah, saya rasa. Sepertinya keberadaan aparat penegak hukum serta peraturan perundang-undangan hanya dipandang sebelah mata. Seolah-olah mereka tinggal di tengah hutan yang berlaku hukum rimba, siapa kuat secara fisik, dia yang menang.

Solidaritas memang sangat bagus, tapi juga tetap harus melihat apa yang menjadi masalahnya, bela apabila memang pantas untuk di bela, jangan asal membela saja. Hidup ditengah himpitan ekonomi yang kurang bersahabat saja, saya rasa sudah sangan sulit, apa lagi hidup di tengan masyarakatnya yang pemarah.

Bila ditelusuri, ini salah siapa, mungkin hanya berakhir pada saling menyalahkan dan konflik lagi. Mungkin salah si ekonomi, salah si sosial, salah si kemiskinan, salah si tidak sejahtera atau salah pemerintah?

Aku rindu kedamain, aku rindu kebersamaan, aku rindu keramahan negeri ini. Kembalilah ramah Indonesiaku, jangan kau menjadi bangsa yang pemarah.

1 komentar: