Keringat yang
menetes tak menghalangi terkembangnya sebuah senyum di bibirnya saat kamibertemu. Raut wajahnya sedikit lelah, namun ia tak menggubrisnya. Dari
serambi Musalla
Universitas Islam Negeri Alauddin,Dirga Is
Harianto bercerita
tentang idealismenya dalam menuntut ilmu.
Lelaki berumur
21 tahun ini sekarang tercatat sebagai mahasiswa Program Studi Ekonomi Islam di Universitas Islam
negeri Alauddin Makassar. Namun, pada transisi tahun 2009-2010, ia tak lebih dari
seorang karyawan lulusan SMK (SMK Darussalam Makassar) yang bimbang tentang masa depannya. Pada saat itu, gaji
bulanan telah ia dapatkan sebagai seorang Marketing di sebuah perusahaan swasta di Makassar.
Mimpi untuk
melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi tentu merupakan sebuah
dilema karena kuliah akan membuatnya mengorbankan pekerjaannya. Hal itu belum
termasuk biaya kuliah yang harus ia tanggung. Mengandalkan orang tua jelas tak
mungkin. Profesi ayahnya sebagai Buruh
bangunan di kabupaten tempat dia di besarkan hanya cukup untuk membiayai kebutuhan
sehari-hari sekaligus sekolah adiknya. Sebagai sulung, ‘anak SMK’ ini
diharapkan mampu membantu keluarga secara finansial, setidaknya dengan cara mencukupi
kebutuhan pribadinya sendiri. Namun, sekali lagi, ia sangat ingin kuliah.
Mengapa ia
begitu ingin kuliah? Bukankah orang tuanya menyekolahkannya di SMK agar cepat bekerja?
“Mengikuti kata
hati. Saat itu bukan lagi pertimbangan-pertimbangan yang rumit dan memusingkan,
tetapi sudah dalam tataran jiwa. Saat itu pun sudah bekerja, tetapi memang ‘keinginan’ ada di bangku kuliah. Jadi,
itulah pilihannya,” jawab pria yang akrab dipanggil Gogo.
Awal April 2010 merupakan moment penting
baginya. Saat itu, Gogo sudah menetapkan hati untuk serius menggapai
cita-cita mengenyam bangku kuliah. Berbekal gajinya sebagai seorang Marketing, pria yang berdomisili di kota
Bunga Malino ini nekat
masuk bimbingan belajar (bimbel) untuk memahami pelajaran IPS SMA. Waktu luang
sekecil apapun dimanfaatkannya untuk belajar, baik di kantor maupun di dalam Angkot. Targetnya jelas: lulus SNMPTN
UIN 2010.
Tiga bulan
menyulap diri menjadi anak SMA sambil menjalani pekerjaan sebagai sales terlihat seperti sebuah kegilaan
tersendiri bagi Gogo. Sempat ia berpikir bahwa ini
merupakan suatu pertarungan yang tak berguna. Realitas yang hadir
dalam wacana “bagaimana bayar biayanya?” hadir untuk menghalangi idealisme yang mulai berkembang.
“Sebetulnya
harapan saya sudah punah saat itu. Dan itu berhubungan dengan materi (biaya).
Namun, kali ini mentor saya berkata dengan lantang, ‘Uang itu
masalah belakangan. Sekarang fokus belajar!! Memang kamu yakin bisa lolos?’ Ucapannya membuat saya semangat lagi,” kenangnya.
Untuk
membentengi diri dari pesimisme yang mulai melanda, ia mencari dukungan
sana-sini. Buku The Secret
karangan Rhonda
Byrne, cerita seorang mahasiswa luar kota yang berhasil masuk UI dengan biaya
pas-pasan, serta nasihat dari seorang teman nyatanya berhasil mendongkrak
motivasinya hingga ia ‘kembali ke jalan yang benar’. Gogo kembali memaknai kekuatan sebuah mimpi yang belakangan dianggapnya klise bagi sebagian orang. Ia dengan bersemangat menggapai mimpi itu agar
menjadi suatu kenyataan yang bisa diraih.
Waktunya tiba. April 2010, ia menjalani Seleksi SNMPTN di SMPN 8 Makassar. Di lokasi ujian, ia sempat bertemu
teman lama satu sekolah yang ternyata memiliki ‘kegalauan’ yang sama untuk
banting setir dari dunia teknik. Bersama-sama, mereka berdoa agar dapat bertemu
lagi sebagai mahasiswa di kampus yang sama.
Segala puji
bagi-Nya. Beberapa bulan setelah ujian, Gogo dinyatakan
masuk UIN Alauddin. “Waktu itu, saya langsung lari
keliling terminal Mallengkeri sambil teriak-teriak
saking senangnya.” Sambil tetap berdoa, pria Makassar ini bersiap untuk menyempurnakan ikhtiarnya. Ia
mengundurkan diri dari pekerjaannya, meminta keringanan biaya dari pihak
kampus, serta memikirkan pekerjaan sambilan agar dapat membiayai kuliahnya.
Selain itu, program beasiswa dari pemerintah pun dibidiknya.
Tuhan tak ragu
mencurahkan rizki padanya. Saat ia melayangkan permintaan pengunduran diri,
atasan justru membolehkannya tetap bekerja sambil menyesuaikan dengan jadwal
kuliah. Gogo tak kehilangan penghasilan bulanannya.
Rencananya ‘direvisi’ oleh Sang Maha
pencipta.
Rejeki lain
datang. Biaya kuliah yang tadinya 5 juta rupiah sebagai uang pangkal dan lima
juta rupiah lagi sebagai biaya kuliah per semester ‘terpangkas’ menjadi 300 ribu
rupiah (uang pangkal) dan 1 juta (biaya
kuliah per semester). “Ini karena saya menunjukkan kemiskinan saya, hahahaha….”
Gogo tergelak.
Kedua rizki di
atas akhirnya sempurna oleh rizki ketiga. Gogo mendapatkan
Beasiswa Bidik-Misi dari Kemendiknas sebesar Rp5 juta. “Dua juta saya
alokasikan untuk biaya kuliah, sisanya untuk biaya hidup.”
Apa rahasia
dibalik pencapaiannya selama ini?
“Rahasianya tidak ada...kecuali yakin sama kekuatan dahsyat kita sendiri
dan percaya bahwa hasilnya nanti adalah yang terbaik buat kita. Nothing
to lose, istilahnya.”
Sebagai penutup
perbincangan kami siang itu, dengan tatapan matanya yang cerah dan senyumnya
yang khas, Gogo berpesan untuk anak sekolah yang mengalami keterbatasan biaya
namun tetap ingin melanjutkan pendidikannya.
“Ketika masih
dalam usia anak dan remaja, jangan pernah berpikir bahwa bekerja lebih baik ketimbang
belajar (sekolah). Belajar itu wajib, musti, kudu. Belajar itu
tuntutan hidup. Belajar itu sampai akhir hayat. Berusahalah terus untuk
bersekolah.”
Saya sangat setuju bahwa belajar untuk selamanya, selama hidup sampai akhir hayat. Bekerja pun tanpa belajar, hasilnya tidak maksimal. "Belajar itu hidup, dan hidup adalah belajar"
BalasHapus