Selasa, 27 November 2012

Belajar itu Tuntutan Hidup!


Keringat yang menetes tak menghalangi terkembangnya sebuah senyum di bibirnya saat kamibertemu. Raut wajahnya sedikit lelah, namun ia tak menggubrisnya. Dari serambi Musalla Universitas Islam Negeri Alauddin,Dirga Is Harianto bercerita tentang idealismenya dalam menuntut ilmu.
Lelaki berumur 21 tahun ini sekarang tercatat sebagai mahasiswa Program Studi Ekonomi Islam di Universitas Islam negeri Alauddin Makassar. Namun, pada transisi tahun 2009-2010, ia tak lebih dari seorang karyawan lulusan SMK (SMK Darussalam Makassar) yang bimbang tentang masa depannya. Pada saat itu, gaji bulanan telah ia dapatkan sebagai seorang Marketing di sebuah perusahaan swasta di Makassar.
Mimpi untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi tentu merupakan sebuah dilema karena kuliah akan membuatnya mengorbankan pekerjaannya. Hal itu belum termasuk biaya kuliah yang harus ia tanggung. Mengandalkan orang tua jelas tak mungkin. Profesi ayahnya sebagai Buruh bangunan di kabupaten tempat dia di besarkan hanya cukup untuk membiayai kebutuhan sehari-hari sekaligus sekolah adiknya. Sebagai sulung, ‘anak SMK’ ini diharapkan mampu membantu keluarga secara finansial, setidaknya dengan cara mencukupi kebutuhan pribadinya sendiri. Namun, sekali lagi, ia sangat ingin kuliah.
Mengapa ia begitu ingin kuliah? Bukankah orang tuanya menyekolahkannya di SMK agar cepat bekerja?
“Mengikuti kata hati. Saat itu bukan lagi pertimbangan-pertimbangan yang rumit dan memusingkan, tetapi sudah dalam tataran jiwa. Saat itu pun sudah bekerja, tetapi memang ‘keinginan’ ada di bangku kuliah. Jadi, itulah pilihannya,” jawab pria yang akrab dipanggil Gogo.
Awal April 2010 merupakan moment penting baginya. Saat itu, Gogo sudah menetapkan hati untuk serius menggapai cita-cita mengenyam bangku kuliah. Berbekal gajinya sebagai seorang Marketing, pria yang berdomisili di kota Bunga Malino ini nekat masuk bimbingan belajar (bimbel) untuk memahami pelajaran IPS SMA. Waktu luang sekecil apapun dimanfaatkannya untuk belajar, baik di kantor maupun di dalam Angkot. Targetnya jelas: lulus SNMPTN UIN 2010.
Tiga bulan menyulap diri menjadi anak SMA sambil menjalani pekerjaan sebagai sales terlihat seperti sebuah kegilaan tersendiri bagi Gogo. Sempat ia berpikir bahwa ini merupakan suatu pertarungan yang tak berguna. Realitas yang hadir dalam wacana bagaimana bayar biayanya? hadir untuk menghalangi idealisme yang mulai berkembang.
“Sebetulnya harapan saya sudah punah saat itu. Dan itu berhubungan dengan materi (biaya). Namun, kali ini mentor saya berkata dengan lantang, ‘Uang itu masalah belakangan. Sekarang fokus belajar!! Memang kamu yakin bisa lolos?’ Ucapannya membuat saya semangat lagi,” kenangnya.
Untuk membentengi diri dari pesimisme yang mulai melanda, ia mencari dukungan sana-sini. Buku The Secret karangan Rhonda Byrne, cerita seorang mahasiswa luar kota yang berhasil masuk UI dengan biaya pas-pasan, serta nasihat dari seorang teman nyatanya berhasil mendongkrak motivasinya hingga ia ‘kembali ke jalan yang benar’. Gogo kembali memaknai kekuatan sebuah mimpi yang belakangan dianggapnya klise bagi sebagian orang. Ia dengan bersemangat menggapai mimpi itu agar menjadi suatu kenyataan yang bisa diraih.
Waktunya tiba. April 2010, ia menjalani Seleksi SNMPTN di SMPN 8 Makassar. Di lokasi ujian, ia sempat bertemu teman lama satu sekolah yang ternyata memiliki ‘kegalauan’ yang sama untuk banting setir dari dunia teknik. Bersama-sama, mereka berdoa agar dapat bertemu lagi sebagai mahasiswa di kampus yang sama.
Segala puji bagi-Nya. Beberapa bulan setelah ujian, Gogo dinyatakan masuk UIN Alauddin. “Waktu itu, saya langsung lari keliling terminal Mallengkeri sambil teriak-teriak saking senangnya.” Sambil tetap berdoa, pria Makassar ini bersiap untuk menyempurnakan ikhtiarnya. Ia mengundurkan diri dari pekerjaannya, meminta keringanan biaya dari pihak kampus, serta memikirkan pekerjaan sambilan agar dapat membiayai kuliahnya. Selain itu, program beasiswa dari pemerintah pun dibidiknya.
Tuhan tak ragu mencurahkan rizki padanya. Saat ia melayangkan permintaan pengunduran diri, atasan justru membolehkannya tetap bekerja sambil menyesuaikan dengan jadwal kuliah. Gogo tak kehilangan penghasilan bulanannya. Rencananya ‘direvisi’ oleh Sang Maha pencipta.
Rejeki lain datang. Biaya kuliah yang tadinya 5 juta rupiah sebagai uang pangkal dan lima juta rupiah lagi sebagai biaya kuliah per semester ‘terpangkas’ menjadi 300 ribu rupiah (uang pangkal) dan 1 juta (biaya kuliah per semester). “Ini karena saya menunjukkan kemiskinan saya, hahahaha….” Gogo tergelak.
Kedua rizki di atas akhirnya sempurna oleh rizki ketiga. Gogo mendapatkan Beasiswa Bidik-Misi dari Kemendiknas sebesar Rp5 juta. “Dua juta saya alokasikan untuk biaya kuliah, sisanya untuk biaya hidup.”
Apa rahasia dibalik pencapaiannya selama ini?
“Rahasianya tidak ada...kecuali yakin sama kekuatan dahsyat kita sendiri dan percaya bahwa hasilnya nanti adalah yang terbaik buat kita. Nothing to lose, istilahnya.”
Sebagai penutup perbincangan kami siang itu, dengan tatapan matanya yang cerah dan senyumnya yang khas, Gogo berpesan untuk anak sekolah yang mengalami keterbatasan biaya namun tetap ingin melanjutkan pendidikannya.
“Ketika masih dalam usia anak dan remaja, jangan pernah berpikir bahwa bekerja lebih baik ketimbang belajar (sekolah). Belajar itu wajib, musti, kudu. Belajar itu tuntutan hidup. Belajar itu sampai akhir hayat. Berusahalah terus untuk bersekolah.”

1 komentar:

  1. Saya sangat setuju bahwa belajar untuk selamanya, selama hidup sampai akhir hayat. Bekerja pun tanpa belajar, hasilnya tidak maksimal. "Belajar itu hidup, dan hidup adalah belajar"

    BalasHapus