Sekitar
tahun 2006, aku pernah berkenalan dengan seorang bule
di di Bandung, namanya Pieter Smith.
Pieter telah lama berada di Indonesia, bahkan dia ingin menjadi WNI, namun
karena prosedur yang agak rumit
hingga saat itu Pieter belum bisa mewujudkannya. Aku sedikit heran, mengapa dia ingin menjadi
seorang WNI, sedangkan aku, pada
saat itu malu untuk mengakui bahwa aku orang
Indonesia. Apalagi ketika aku menoleh pada prestasi Indonesia yang
sangat tidak dapat dibanggakan.
Pieter
menjelaskan, bahwa dia jatuh cinta pada Indonesia sejak pertama kali dia tiba
di negeri ini, tepatnya di Bali. Pieter melihat dan merasakan keramahan
masyarakat Indonesia. Kemanapun dia melangkah dan kemudian
tersesat, selalu ada masyarakat asli yang menolongnya. Pieter bahkan merasa Indonesia seperti tanah
kelahirannya sendiri.
Keramahan masyarakat Indonesia, tidak
hanya dirasakan oleh Pieter, tapi
oleh jutaan bahkan mungkin milyaran wisatawan yang pernah berkunjung ke
Indonesia. Keramahan ini pula yang tersebar dari mulut ke mulut, sehingga orang
yang awalnya tidak tahu tentang Indonesia, menjadi tertarik dan ingin
berkunjung ke Indonesia.
Tapi itu dulu, negeri yang ramah ini secara perlahan berganti jadi
negeri yang marah. Seolah-olah setiap
masalah yang muncul hanya dapat diselesaikan dengan huru-hara, anarkis, rusuh,
tawuran, membakar apa saja yang ada di depan mata dan sederet tindakan “marah”
lainnya.
Masalah sepele, bahkan tak jarang hanya
masalah remaja (rebutan pacar atau berebut daerah
kekuasaan) bisa merembet menjadi masalah orang tua, kemudian menjadi
masalah antar desa atau antar etnis. Belum lagi ditambah adanya provokator dan
bumbu-bumbu media masa yang terkadang overdosis. masalah pribadi pun bisa
menjadi masalah nasional yang dibicarakan dari Sabang sampai Merauke.
Dahulu kala, bila ada masalah
diselesaikan dengan kepala dingin, para pihak duduk bersebelahan, mengutarakan
isi hatinya, bermusyawarah, ditengahi tokoh setempat. Namun sekarang, bila ada
masalah, diselesaikan dengan perut lapar sehingga otak kekurangan nutrisi dan
menjadi malas berfikir, kemudian senjata yang berbicara.
Situasi akan menjadi tambah panas,
ketika orang-orang yang ada dalam satu golongan, hanya sekedar membela tanpa
melihat duduk permasalahnnya. Misalnya A dari kelompok Satu bermasalah dengan B
dari kelompok Dua, orang-orang kelompok Satu akan menyerang B dan kelompok Dua,
tanpa mau peduli si A itu yang benar atau salah. Alasan mereka ini demi
“solidaritas” sesama kelompok. Konyol dan sangat salah kaprah, saya rasa.
Sepertinya keberadaan aparat penegak hukum serta peraturan perundang-undangan
hanya dipandang sebelah mata. Seolah-olah mereka tinggal di tengah hutan yang
berlaku hukum rimba, siapa kuat secara fisik, dia yang menang.
Solidaritas memang sangat bagus, tapi
juga tetap harus melihat apa yang menjadi masalahnya, bela apabila memang
pantas untuk di bela, jangan asal membela saja. Hidup ditengah himpitan ekonomi
yang kurang bersahabat saja, saya rasa sudah sangan sulit, apa lagi hidup di
tengan masyarakatnya yang pemarah.
Bila ditelusuri, ini salah siapa, mungkin
hanya berakhir pada saling menyalahkan
dan konflik lagi. Mungkin salah si ekonomi, salah si sosial, salah si kemiskinan, salah si tidak sejahtera atau salah pemerintah?